Jumat, 18 Maret 2011

Manajemen Bencana Radiasi

Ahmad Muttaqin Alim
European Master in Disaster Medicine (EMDM)
PP Muhammadiyah

Yang bisa terjadi di Jepang bukan saja bencana tunggal (single disaster), melainkan bencana campuran (mixed disaster), di mana natural disaster berupa gempa dan tsunami dikhawatirkan menimbulkan technological disaster berupa penyebaran radiasi akibat kebocoran PLTN Fukushima. Belum lagi, sangat dimungkinkan terjadi penyebaran minyak, zat kimia, dan mikroorganisme berbahaya yang terbawa gelombang tsunami dari pabrik-pabrik dan laboratorium.

Amatlah wajar bila masyarakat Jepang sangat khawatir bila terjadi kebocoran radiasi karena mereka memiliki pengalaman buruk tragedi Hiroshima-Nagasaki belum seabad lalu. Tersebar isu bahwa Fukushima akan separah Chernobyl, meskipun banyak ahli segera membantahnya. Beberapa teman bertanya, seberapa bahaya bagi manusia bila terkena radiasi? Bagaimana pencegahan dan penanganannya bila terkena? Bagaimana pula manajemen bencana radiasi? Tulisan ini berpretensi untuk menjawab, khususnya dari perspektif disaster medicine.

Efek radiasi
Radiasi ada di mana-mana. Sinar matahari, radar, gelombang radio, dan televisi juga handphone adalah bentuk-bentuk radiasi yang non-ionizing sehingga tidak berbahaya. Sebaliknya, ada radiasi yang ionizing, yakni yang dapat merusak jaringan hidup dengan cara mentransfer energi tertentu ke dalam komponen-komponen sel yang vital.

Secara teknis, ada dua jenis ionizing radiation: elektromagnetik seperti sinar gama dan sinar X; dan partikel seperti alfa, beta, dan neutron. Masing-masing memiliki karakter. Partikel alfa tidak terpancar jauh dan tidak menembus organ, sementara sinar gama memiliki kemampuan tersebut. Partikel alfa akan sangat merusak jika terhirup, terinjeksi, atau masuk melalui luka. Partikel beta paling sering merusak kulit dan membuat katarak pada mata, selain secara potensial memunculkan kanker di organ dalam (karsinogenik). Sinar gama berbahaya baik terhadap organ dalam maupun luar, serta memiliki efek cepat yang muncul segera maupun efek lambat yang baru muncul bertahun-tahun kemudian. Sedangkan, neutron berbahaya bagi organ dalam, dapat mengendap di atom jaringan tubuh, kemudian memancarkan sinar gama.

Proses yang terjadi di tingkat mikro, ada sel yang rusak karena radiasi, namun dapat memperbaiki diri; ada yang rusak, namun tidak bisa kembali seperti semula, mengalami perubahan gen yang menimbulkan kecacatan permanen atau kanker; lalu ada pula sel yang langsung rusak dan mati.

Secara klinis, bila kulit terkena radiasi sebesar 3 Gy (grey) atau setara 300 RAD, maka akan mengalami kerontokan rambut; pada 6 Gy akan mengalami erythema (warna kemerahan pada kulit); pada 10 Gy kulit akan mengelupas; dan 20 Gy mematikan jaringan. Namun, bila yang terkena adalah seluruh tubuh, maka dengan 1 Gy saja sudah bisa memunculkan acute radiation syndrome (ARS), yaitu kumpulan subsindroma berupa gangguan sistem hematopoietik (darah), gangguan pencernaan, kardiovaskular, syaraf pusat, hingga kematian, meningkat seiring dengan peningkatan dosis radiasi. Radiasi sebesar 500 Gy bisa mematikan, dan 1000 Gy adalah batas maksimum orang dapat disembuhkan dengan pengobatan yang agresif.

Sumber radiasi
Dalam bidang studi disaster medicine, dipelajari setidaknya ada empat skenario terjadinya penyebaran radiasi berbahaya, diurutkan berdasarkan tingkat bahayanya. Pertama, detonasi bom nuklir. Selain ukuran ledakannya yang luar biasa besarnya, tentu saja kemampuan memancarkan radiasi nuklir menjadikannya sangat berbeda dengan bom biasa. Selain cedera ledakan (blast injuries) dan cedera panas (thermal/burn injuries), bom nuklir juga menyebabkan cedera radiasi dengan efek yang mengerikan. Ini adalah yang paling berbahaya dan paling mengerikan. Karena dalam hitungan detik bisa menyebabkan ratusan ribu orang meninggal dunia.

Sumber radiasi kedua yaitu melelehnya reaktor nuklir akibat kegagalan teknologi. Inilah yang terjadi pada tragedi Chernobyl, Ukraina pada 26 April 1986, dengan memakan korban meninggal lebih dari 100 ribu jiwa, dan dicurigai terjadi di PLTN Fukushima, Jepang sejak beberapa hari lalu. Pada skenario meltdown ini, radiasi akan tersebar secara terbatas, karena selain ada pengaman yang memang dipersiapkan (kecuali di Chernobyl), juga karena tidak secara sengaja dibuat untuk diledakkan.

Sumber ketiga, radiation dispersal device (RDD), yaitu alat-alat yang memang dirancang untuk menggeluarkan radioaktif tanpa harus menggunakan peledakan nuklir. Alat-alat semacam ini mudah ditemukan di fasilitas-fasilitas medis dan industri. Contoh lain yang manfaatkan ledakan adalah dirty bomb. Ini adalah bom ukuran lebih kecil (bukan bom nuklir) yang diisi dengan zat-zat yang dapat memancarkan radiasi. Yang ditakutkan, tindakan terorisme akan menggunakan alat-alat semacam ini. Keempat, non-explosive material, seperti zat-zat radioaktif yang digunakan sebagai sarana teror dengan meletakkannya di tempat umum. Ini juga sangat mungkin dilakukan dalam misi teror.

Manajemen darurat
Dengan efeksionisasi radiasi yang sangat berbahaya, manajemen kedaruratan radiasi harus dilakukan secara optimal. Tidak saja tim penyelamat, masyarakat pun harus memahami betul manajemen kedaruratan radiasi untuk skenario yang terburuk sekalipun.

Pada prinsipnya, manajemen kedaruratan radiasi meliputi dua hal: proteksi dan manajemen ionisasi. Pertama, proteksi. Sembari menghentikan pancaran radiasi, baik korban maupun tim penyelamat harus diproteksi. Prinsip proteksi adalah time (waktu, meminimalisasi durasi paparan), distance (jarak, menjauhkan dari sumber radiasi), dan shield (perisai). Semakin singkat waktu terpapar, semakin jauh dari sumber radiasi. Dan semakin baik perisai yang digunakan, semakin minimal efek radiasi.

Evakuasi warga adalah upaya menjauhkan masyarakat dari sumber radiasi. Tim penyelamat akan membuat zonasi di seputar pusat radiasi menjadi hot zone, warm zone dan cold zone. Hot zone adalah area berbahaya, di mana radiasi banyak terpancar dan mengendap. Warm zone adalah lokasi dilakukannya deradiasi dan dekontaminasi baik bagi korban maupun penyelamat. Sedangkan, cold zone adalah area aman.

Kedua, manajemen ionisasi. Hal pertama yang dilakukan adalah melakukan triage, yakni memilah korban yang terpapar dan tidak terpapar, terpapar sedikit dan yang terpapar banyak, juga korban cedera. Ini adalah fase kritis yang jika tidak dilakukan dengan baik, korban yang terkena radiasi bisa masuk ke tempat umum seperti rumah sakit dan membahayakan seluruh rumah sakit.

Tentu saja, semua langkah manajemen bencana radiasi tadi dilakukan dengan sangat hati-hati oleh tim yang dilatih khusus dan menggunakan alat-alat yang khusus pula. Oleh karena itu, untuk mengirimkan bantuan ke Jepang, khususnya ke wilayah yang dicurigai terkontaminasi radiasi, perlu persiapan yang sangat matang. Salah-salah, bukannya menolong malah jadi korban. Mudah-mudahan kita bisa belajar dari Jepang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar