Selasa, 08 Maret 2011

Kekuasaan Itu Bak Meneguk Air Laut

Oleh   Ahmad Syafii Maarif

Selengkapnya judul di atas berbunyi: "Kekuasaan itu bak meneguk air laut, semakin diteguk semakin dahaga." Bertrand Russell pada bagian akhir bukunya tentang Power/Kekuasaan (New York: WW Norton&Company, 1969, hlm 273) di bawah topik "The Taming of Power" mempunyai ilustrasi yang menarik tentang penguasa yang menindas.

Alkisah, tersebutlah filsuf Cina Kongfuzi/Konfusius (551-479 SM) saat melintasi sisi Gunung Thai menemui seorang perempuan, yang sedang menangis dengan pahit di dekat sebuah kuburan. Guru ini maju bergegas mendekatinya. Lalu, dikirimlah Tze Lu untuk menyapa perempuan itu.

"Ratapanmu", tanya Tze Lu, "Apakah karena seseorang  yang ditimpa kesusahan demi kesusahan." Jawab perempuan itu, "Ya demikianlah. Dulu ayah suami saya dibunuh di sini oleh seekor harimau. Suami saya pun juga terbunuh, dan sekarang anak laki-laki saya mati dengan cara serupa."

Sang Guru bertutur, "Mengapa engkau tidak meninggalkan tempat ini?" Jawaban yang ke luar adalah, "Di sini tidak ada pemerintah penindas." Sang Guru kemudian berwasiat, "Ingat ini, anak-anakku: pemerintah penindas lebih mengerikan dari harimau."

Konfuzi mengajarkan, agar penguasa bersikap moderat dan sarat dengan kabajikan. Bukan menindas dan mencelakakan rakyat, seperti yang terlukis dalam kisah di atas. Lebih baik mati diterkam harimau daripada hidup di bawah kekuasaan yang zalim. Sungguh tragis gambaran yang diberikan oleh perempuan yang sedang meratap dekat kuburan keluarganya, tetapi tidak mau beranjak dari tempat berbahaya itu, demi menghindar dari angkara murka penguasa.

Gerakan rakyat di Afrika dan Asia Barat adalah untuk melawan penguasa yang zalim dan korup, sementara sebagian besar rakyat dibiarkan menderita. Mereka tidak hirau dengan itu semua, asal kekuasaannya tetap langgeng, dibangun di atas pundak rakyat miskin yang telah lama mengerang karena kesulitan hidup.

Dalam kaitan inilah, kita dapat memahami mengapa seorang Mohammed Bouazizi (26) membakar dirinya, sebagai protes keras terhadap polisi Tunisia atas penyitaan gerobak dagangan sayur-sayurannya. Dia sudah muak dengan membayar uang sogok selama ini. Dengan tak terduga, kematian pemuda terdidik ini telah menyulut kemarahan masif yang sedang membakar dan mengguncangkan bumi Arab.
 
Para penguasa di kawasan itu menjadi sangat cemas, jangan-jangan takhta mereka akan segera tumbang, seperti yang sudah berlaku di Tunisia dan Mesir. Jika saja penguasa itu mau mendengarkan nasihat Konfuzi, apalagi mau bercermin kepada kehidupan Nabi Muhammad SAW, tentu mereka tak perlu diusir rakyatnya sendiri.

Kekuasaan tanpa visi moral adalah ibarat meneguk air laut, semakin diminum semakin dahaga. Tetapi, alangkah sukarnya manusia korup berpisah dengan kekuasaan. Semestinya, kekuasaan itu diterima sebagai amanah untuk menegakkan keadilan dan meratakan kesejahteraan untuk semua. Tetapi, yang sering berlaku sepanjang sejarah umat manusia adalah kekuasaan itu untuk dinikmati.

Penguasa sebagai penikmat kekuasaan. Jika kenikmatan ini diganggu, sang penguasa akan menggunakan segala cara apa pun coraknya untuk mempertahankannya, jika perlu dengan membunuh rakyatnya sendiri seperti yang kini terjadi di Libya. Agama telah dijadikan barang mainan. Sungguh biadab!
(-)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar