Selasa, 01 Maret 2011

PSSI dan Sepak Bola Nasional

Irfan Ridwan Maksum
Guru Besar Tetap Ilmu Administrasi Negara UI
dan Dosen Tidak Tetap FISIP-UMJ

Menjelang Kongres Persatuan Sepak bola Seluruh Indonesia (PSSI) di Bali (Republika, 21-2-2011), tampaknya perseteruan PSSI dengan Liga Primer Indonesia (LPI) sudah berujung pada nilai bisnis di balik penyelenggaraan sepok bola di Tanah Air. Saat ini, antusiasme publik terhadap cabang olahraga ini semakin memuncak.

Jati diri cabang olahraga yang satu ini memang dikenal merakyat, murah, meriah, sekaligus menyehatkan dan membuat sejahtera berbagai kelompok masyarakat. Oleh karena itu, olahraga ini makin digemari. Tetapi, antusiasme bangsa Indonesia tersebut diuji oleh perseteruan yang cukup melelahkan antara pengurus PSSI yang mengklaim memiliki otoritas dalam segala penyelenggaraan turnamen sepak bola di Tanah Air dan LPI yang mengklaim ingin mengubah keadaan agar persepakbolaan di Tanah Air makin lebih baik dan berkualitas. Karena itu, sejumlah klub di Tanah Air terlihat antusias dengan kehadiran LPI dan bersemangat melakukan hijrah dari Liga Super Indonesia (LSI) binaan PSSI ke LPI.

Distribusi nilai
Dalam ekonomi politik, distribusi nilai dapat diraih melalui empat mekanisme. Pertama, melalui hierarki yang akhirnya dikenal melalui berbagai alat negara mulai dari kebijakan sampai operator kebijakan dengan segala sistemnya. Kedua, melalui pasar, di mana terjadi pertemuan antara penjual dan pembeli di mana masing-masing secara independen melakukan transaksi.

Ketiga, melalui altruisme, yakni kebaikan hati dari kita sebagai individu. Keempat, melalui chaos, yakni jika keadaan suatu masyarakat mengarah pada anomali atau tanpa aturan, distribusi nilai dalam masyarakat dapat memungkinkan ke arah kekacauan (McLean: 1985).

Dengan demikian, tiga mekanisme pertama dilalui dengan mengandalkan aturan main (rule of the game), sedangkan yang terakhir keadaan tanpa rule. Melalui hierarki, dihasilkan rule yang cenderung formalistik, datang dari atas, teknokratis, dan birokratis, sedangkan melalui pasar, aturan main didorong dari bawah, lebih fleksibel, lebih berorientasi pada penambahan nilai bersama dan tidak birokratis.

Selanjutnya, jalur altruisme lebih informal, datang dari norma yang berkembang dalam masyarakat. Nilai sosial yang kuat akan memudahkan terjadinya altruisme. Dalam hal PSSI, tampak struktur tubuhnya lebih ke arah altruisme. Dari namanya perserikatan, aturan yang terbentuk adalah norma yang disepakati berbagai pihak yang melalukan perserikatan (bottom-up).

Kebijakan negara yang muncul belakangan dalam sebuah undang-undang (UU) memayungi semua jenis olahraga yang ada di Tanah Air. Terlebih, kini, sepak bola merupakan cabang olahraga yang menjanjikan bisnis besar. Lihatlah Liga Inggris dan liga-liga lainnya. Mereka dikelola secara profesional tanpa mengandalkan uang anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) maupun negara (APBN). Jika bisnis sepak bola dirasakan pula oleh perserikatan, sudah semestinya aturan main dalam perserikatan segera disesuaikan.

Sulit memasukkan PSSI dalam kandang mekanisme negara. Ukurannya adalah apakah pegawai PSSI merupakan pegawai negeri? Apakah pengurus perserikatan yang tersebar di berbagai daerah adalah pegawai negeri? Jelas tidak. Oleh karena itu, PSSI mirip-mirip yayasan. Kini, yayasan banyak berbisnis karena urusan yang ditangani menjanjikan secara bisnis. PSSI sedang berbenah diri ke arah bisnis, tetapi rule-nya belum ke arah sana dan tidak mungkin menjadi hierarki. Jika diubah menjadi bagian dari hierarki, dikhawatirkan akan mendistorsi kualitas persepakbolaan di Tanah Air.

Liga Primer Indonesia (LPI) dilihat dari berbagai arah yang sedang dikembangkan dengan kemasan nasionalisme sesungguhnya ingin memperoleh satu produk persepakbolaan yang dijadikan sebagai ranah bisnis. Tidak keliru jika ujung-ujungnya tetap untuk meningkatkan kualitas sepak bola Indonesia. Semestinya, segala jenis dan sekecil apa pun harus ditegakkan ukuran rasionalitas, profesionalitas, dan merit system di dalam manajemen LPI ini.

Peran negara
Yang justru harus diperhatikan sekarang ini terdapatnya elemen internasional terkait nama bangsa karena adanya komnpetisi internasional. Apakah hanya dapat dicapai melalui perserikatan? Atau melalui jalur satu pihak yang mengarah ke bisnis sepak bola. Negara harus mengatur lebih jauh. Peraturan perundangan memayungi persoalan laga berbagai cabang olahraga dengan munculnya kelembagaan BOPI. Tetapi, ini mungkin tidak cukup karena adanya nama bangsa yang dapat melekat di dalam berbagai turnamen terkait atau tidak.

Negara berhak mengatur pertikaian ini agar tidak mengarah pada chaos. Malah menjadi kewajiban negara jika tidak berujung pada penyelesaian damai. Tampaknya, hingga saat ini, pihak LPI pun sudah berjalan (the show must go on). Jangan sampai negara berpihak pada salah satunya karena kedua-duanya hanya mewakili mekanisme bangsa Indonesia untuk mendapatkan nilai persepakbolaan menjadi lebih baik. Negara, dalam hal ini Kemenegpora, harus menjaga hak properti masing-masing dan negara berkewajiban memajukan kedua-duanya karena warga negara yang sah yang sama-sama ingin memajukan dunia sepak bola di Tanah Air.

Kemenegpora tidak boleh menjadikan salah satunya sebagai mekanisme bagian dari dirinya. Justru Kemenegpora terbantukan jika banyaknya saluran terjadi dalam distribusi nilai olahraga. Kesejahteraan warga cabang olahraga mana pun dapat tersalurkan di berbagai mekanisme.

Dengan demikian, kita bisa menyaksikan indahnya katakanlah 'swastanisasi' sepak bola Indonesia. Warga pencinta dapat menikmati banyaknya tontonan yang kian murah. Pemain, pengelola, dan pengurus manajemen sepak bola semakin menikmati kesejahteraannya. Bukankah ini prestasi Kemenegpora dalam cabang sepak bola?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar