Jumat, 11 Maret 2011

Paradoks Indonesia

Oleh Zaim Uchrowi

Nenek itu tinggal di kandang ayam. Lumpuh. Penglihatannya pun tak lagi berfungsi. Itu potret masyarakat yang diangkat Republika pekan ini. Sebuah keadaan yang sungguh mewakili paradoks Indonesia.

Pada satu sisi, bangsa ini baru disebut memiliki jumlah orang mapan nomor tiga di Asia. Bahkan lebih tinggi dibanding Jepang maupun Korea. Juga dipercaya akan segera menjadi kekuatan ekonomi nomor 15 dunia. Segera menyalip Belanda. Singapura yang kaya itu pun kalah karena cuma negara kecil. Tapi di sisi lain, kemiskinan makin kuat mengakar di negeri ini. Seperti sosok yang dipotretkan di atas, ada jutaan orang yang dililit kemiskinan seperti itu.

Kedua kenyataan itu membuat bingung. Sebenarnya baik atau burukkah keadaan Indonesia saat ini? Bergantung pada siapa yang menjelaskannya. Menurut yang di lingkaran kekuasaan, Indonesia "sangat baik", ekonomi Indonesia maju, dan banyak lembaga asing memuji.

Bagi yang beroposisi, keadaan Indonesia sekarang buruk. Korupsi dan politik uang terus terjadi. Kemiskinan di akar rumput pun serius. Soal pujian asing dipandang tak perlu dijadikan pegangan. Di zaman Orde Baru, ekonomi Indonesia juga dipuji-puji asing. Ternyata, begitu gampang runtuh terhantam krisis moneter.

Baik atau buruk Indonesia saat ini, terserah yang menilainya. Apa pun penilaiannya, keadaan Indonesia saat ini adalah produk lima logika. Itu pernah ditulis di kolom Resonansi ini. Bila keadaan sekarang dianggap baik, lima logika itu baik dan cocok untuk Indonesia. Bila keadaan sekarang dianggap buruk, berarti lima logika memang tidak baik dan/atau tidak cocok untuk Indonesia.

Pertama, logika birokrasi. Kedua, logika militer. Ketiga, politisi. Keempat, logika akademisi. Kelima, logika ormas dan LSM. Kelima logika tersebut mendominasi lebih dari 90 persen percaturan bangsa. Contoh jelas logika politisi yang sangat jelas saat ini adalah logika Nurdin Halid. Walaupun berbaju pengusaha, logikanya adalah logika politisi. Maka, jika di Indonesia sekarang ada paradoks, itulah hasil lima logika yang dominan sekarang.

Logika bangsa dan negara Singapura sangat berbeda. Ada dua logika yang dominan di sana. Logika pengusaha dan logika profesional. Logika pengusaha adalah efektif dan efisien dalam mencapai tujuan. Logika profesional-bagi mereka yang berpengalaman kerja panjang di korporasi-adalah sistematis. Kedua logika itu menguasai 80-an persen logika Singapura. Sisa 20 persen baru logika lainnya. Hasil logika itu, kemiskinan dapat diatasi.

Benar, banyak yang baik di negeri ini. Namun, yang buruk juga masih sangat banyak. Itu harus diatasi. Indonesia ke depan harus lebih baik dari sekarang. Untuk itu, masa depan bangsa tak boleh disandarkan begitu saja pada logika sekarang. Lima logika seperti yang sudah ada. Perlu logika-logika lain untuk mewarnai logika Indonesia.

Logika politik, hingga beberapa saat nanti, masih akan memimpin bangsa. Tak apa, asal bersedia memberi ruang pada logika lain, seperti logika pengusaha dan profesional. Sudah saatnya lima logika yang ada: birokrasi, militer, politik, akademisi, ormas-LSM, bersedia mengurangi porsinya hingga 50 persen. Biarkan sisanya diwarnai logika lain, terutama pengusaha, profesional, dan budayawan. Dengan jalan itu, paradoks bangsa dapat diatasi, kemiskinan dapat ditekan, dan bangsa akan sungguh-sungguh lebih makmur. Setidaknya tak ada lagi yang akan tinggal di kandang ayam seperti sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar