Rabu, 23 Maret 2011

Ketika Bertani tanpa Kebanggaan

Khudori
Pengamat Pertanian

Sejumlah media mengupas fakta-fakta betapa rapuhnya fondasi pertanian Indonesia: pemiskinan petani yang meluas, pendapatan usaha tani yang tidak memadai, serangan hama/penyakit yang meruyak, dan gerontokrasi tenaga kerja. Ujung dari semua itu membuat petani tak berdaya dan termarginalkan, baik secara sosial, ekonomi, maupun politik. Logis jika petani tidak bangga disebut pak tani. Padahal, di negara lain petani itu profesi terhormat.

Sebetulnya, yang diungkap media tersebut tidak sepenuhnya baru. Pemiskinan petani dan hasil usaha tani yang gurem sudah lama diketahui. Misalnya, survei Patanas (2000) menemukan, 80 persen pendapatan rumah tangga petani kecil disumbang dari kegiatan di luar pertanian, seperti ngojek, dagang, dan pekerja kasar. Secara evolutif, sumbangan usaha tani padi dalam struktur pendapatan rumah tangga petani merosot: dari 36,2 persen tahun 1980-an tinggal 13,6 persen. Fakta ini menunjukkan tak ada lagi "masyarakat petani", yakni mereka yang bekerja di sektor pertanian dan sebagian besar kebutuhan hidupnya dicukupi dari kegiatan itu.

Punahnya masyarakat petani sudah lama diketahui. Kajian perdesaan selama 25 tahun (Collier dkk, 1996) menemui fakta getir: tenaga kerja muda di perdesaan Jawa kian langka. Yang tersisa hanya pekerja tua renta dan tidak produktif yang lambat responsnya terhadap perubahan dan teknologi. Jika pun ada petani muda, mereka terpaksa bertani karena tak terserap sektor formal. Jumlah petani di atas usia 50 tahun mencapai 75 persen, 30-49 tahun 13 persen, sisanya 12 persen berusia kurang 30 tahun. Krisis tenaga kerja pertanian tinggal menunggu waktu.

Akhirnya, pertanian identik dengan kemiskinan, gurem dan udik, dan tidak menarik tenaga terdidik. Ini terjadi karena sektor pertanian mengalami destruksi sistemis di semua lini, baik di on farm, off farm maupun industri dan jasa pendukung. Di on farm telah terjadi fragmentasi produksi dan distribusi input pertanian, degradasi sumber daya tanah, air dan iklim akibat pembabatan hutan dan buruknya implementasi tata ruang, dan memburuknya daya tampung dan distribusi DAS karena infrastruktur irigasi tidak pernah dibenahi.

Di off farm dan jasa pendukung ditandai nihilnya dukungan bank, dicabutnya subsidi, tak fokusnya perencanaan SDM pertanian, liberalisasi kebablasan, dan tidak bersenyawanya lembaga pendidikan dan riset dengan petani. Konversi lahan-lahan pertanian produktif tanpa henti membuat investasi irigasi, jalan, dan infrastruktur muspro. Akhirnya, investasi dan teknologi, seperti introduksi varietas unggul baru, belum mampu menggenjot produksi secara signifikan.

Program revitalisasi, peningkatan daya saing, peningkatan produksi petani dan kesejahteraan petani tidak hanya membentur tembok, tapi menjadikan segalanya jadi sia-sia. Desentralisasi dan otonomi daerah membuat Kementerian Pertanian tidak selincah dulu karena tak punya "tangan dan kaki" di daerah. Sektor pertanian betul-betul sakaratul maut.

Di bidang industri, pemerintah lebih mementingkan kegiatan di sektor industri/jasa di perkotaan daripada di sektor primer (pertanian) yang jadi gantungan hidup mayoritas warga perdesaan. Pertanian dan industri yang mestinya bersinergi lewat konsep urban-rural linkages untuk mencapai kesejahteraan bersama tidak terjadi. Sebaliknya, justru tercipa kesenjangan kota-desa, keterbelakangan desa, dan marginalisasi ekonomi perdesaan. Kota makin perkasa, sedangkan desa justru makin merana.

Indikatornya bisa dilihat dari kemiskinan. Ketika angka kemiskinan nasional menurun (dari 14,15 persen atau 32,53 juta jiwa pada 2009 jadi 13,32 persen atau 31,02 juta jiwa pada 2010), pada periode yang sama kemiskinan di perdesaan justru naik: dari 63,35 persen jadi 64,23 persen. Artinya, pembangunan justru kian meminggirkan warga perdesaan. Peningkatan produksi pangan tidak berarti apa-apa karena tidak membuat petani sejahtera.

Jika memang pemerintah berniat mengembalikan martabat dan kebanggaan petani, harus ada pembalikan arah pembangunan: dari sektor non-tradable (keuangan, jasa, real estat, transportasi dan komunikasi, serta perdagangan/hotel/restoran) yang bersifat padat modal, teknologi dan pengetahuan ke sektor tradable (pertanian, pertambangan, dan manufaktur) yang padat tenaga kerja dan berbasis lokal. Tanpa perubahan pilihan strategi industrialisasi dan pembangunan mustahil kemiskinan dan pengangguran di perdesaan bisa dihapuskan.

Untuk menghapus kemiskinan di perdesaan harus dilakukan pembangunan perdesaan. Dari sisi petani, tanah, modal, pengetahuan dan teknologi, serta akses pasar jadi kebutuhan primer. Tidak cukup redistribusi tanah (landreform). Selain itu, fokus pembangunan ekonomi seharusnya bukan hanya berada di pertanian atau pendalaman struktur industri, tetapi juga membangun proses industrialisasi yang mampu mengubah pola transformasi ekonomi ke arah transformasi ekonomi yang menghasilkan pola perubahan struktural yang memperkuat ekonomi Indonesia di masa datang. Kesalahan industrialisasi tanpa transformasi struktur ekonomi tidak hanya memiskinkan petani, tetapi juga membuat fondasi ekonomi rapuh.

Menumpuknya tenaga kerja di sektor pertanian/perdesaan memperlemah kapasitas pertanian Indonesia. Menumpuknya tenaga kerja di sektor pertanian yang tidak diimbangi kemampuan sektor ini dalam memberikan penghidupan layak bagi para petani dan tenaga kerja pertanian bukan hanya meningkatkan pengangguran dan kemiskinan di perdesaan serta meningkatkan kesenjangan desa-kota dan pertanian-industri, tetapi juga melumpuhkan perekonomian nasional secara keseluruhan.

Ini akan memengaruhi kemampuan petani dan sektor pertanian dalam menopang pangan (food), pakan (feed), sandang-papan (fibre), dan bahan bakar (fuel) secara berkesinambungan untuk menjamin kualitas (jiwa, raga, dan kecerdasan) warga dan generasi mendatang. Negara yang kuat akan tercipta jika petani kuat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar