Selasa, 01 Maret 2011

Membaca Potensi Konflik

Miftah F Muhammad
Staf Direktur LKKNU-PBNU dan Pelaku Bisnis

Indonesia dengan beragam budaya, suku, agama, dan golongan harus diakui merupakan karunia yang begitu luar biasa. Namun, hal itu bisa menjadi bencana manakala kita sebagai bangsa kurang bisa mensyukurinya. Bersyukur dalam arti merawat, menjaga, dan mengembangkannya agar membawa kemaslahatan bagi semua anak bangsa.

Rentetan kasus yang belakangan terjadi, terutama berkaitan dengan SARA, kiranya menunjukkan Indonesia harus menjadi bangsa yang selalu belajar. Konflik SARA merupakan konflik yang paling mudah meledak jika sudah ada pemantiknya. Meskipun dalam porsi yang sangat kecil, apalagi jika sudah ditunggangi oleh kepentingan oknum-oknum tertentu.

Sejak mendapatkan kemerdekaan hingga usianya yang setengah abad lebih bangsa Indonesia masih saja dihadapkan pada masalah yang sama. Berbagai masalah yang melilit bangsa ini terlihat bagai lingkaran setan yang selalu membawa pada gerak mundur, bagaikan bayangan kelam yang selalu mengikuti gerak langkahnya. Sejak bangsa ini merdeka pada dasarnya potensi konflik SARA sudah inheren. Hal itu juga dibarengi dengan berbagai masalah termasuk KKN dan penyalahgunaan wewenang para pejabat.

Kedewasaan dalam berbangsa
Kerap kali terjadi, ketika bangsa ini hendak bangkit dan menyongsong cerahnya masa depan, tak lama kemudian bayangan kelam itu datang lagi. Seakan pupus sudah harapan bangsa ini keluar dari rentetan masalah internal yang berkepanjangan. Kasus Lapindo, kasus Century, mafia pajak, konflik agama, serta pekerjaan rumah lainnya yang menggunung merupakan fenomena gunung es yang kapan pun bisa terulang. Berbagai macam persoalan lainnya muncul silih berganti mengancam dan menggerogoti sendi-sendi keutuhan bangsa.

Era baru reformasi menjadi harapan cerah bagi bangsa Indonesia. Keluar dari otoritarianisme negara dengan wajah bengisnya bagaikan menyambut mentari di sejuknya pagi hari. Kebebasan pers, berorganisasi dan lebih terjaminnya hak-hak asasi manusia (HAM) mengindikasikan iklim demokrasi semakin baik. Hal itu semakin menemukan bentuk dengan tampilnya presiden Abdurrahman Wahid yang sedari awal teguh memperjuangkan nilai-nilai demokrasi, pluralisme, dan multikulturalisme bangsa Indonesia.

Disahkannya, Konghucu sebagai salah satu agama di Indonesia merupakan kebijakan yang substansial. Langkah-langkah serupa itu merupakan jembatan penting untuk semakin mendekatkan tali silaturahim anak bangsa. Begitu damai terasa antaranak bangsa hidup dalam toleransi dan kerukunan. Betapa hal itu menjadi energi besar serta fondasi yang kuat bagi bangsa ini untuk bangkit mewujudkan tatanan masyarakat yang makmur, sejahtera, dan berkeadilan.

Namun, bangsa ini nyatanya masih tersandera oleh penyelesaian problem kedirian sebagai sebuah bangsa yang utuh. Bangsa Indonesia masih selalu berjuang keras melawan lupa juga melawan penyakit kronis yang bercokol dalam dirinya. Bangsa ini lupa dengan sejarahnya, lupa dengan masa lalu yang seharusnya bisa menjadi guru terbaiknya. Pengalaman berharga bangsa ini nyatanya tidak pernah dijadikan pedoman untuk melangkah. Akibatnya, selalu saja mengulang-ulang kesalahan yang sama.

Masalah yang muncul darinya pun masalah serupa. Tidak berlebih jika tumpukan masalah yang terus menggunung itu dilihat sebagai ancaman yang sangat potensial memecah keutuhan sebuah bangsa. Kiranya ancaman dari dalam lebih genting daripada ancaman yang datang dari luar, yang harus mendapat penanganan ekstra. Tidak berlebih jika seharusnya pemerintah fokus pada ancaman dari dalam tersebut.

Pada konteks inilah pentingnya pemerintah harus selalu mengajak semua elemen bangsa untuk memupuk dan membangun persatuan dan kesatuan bangsa. Jelas sekali terlihat bahwa salah satu penyebab berlarut-larutnya penyelesaian masalah bangsa adalah karena sikap acuh terhadap masalah-masalah yang terjadi di sekitar kita. Sikap-sikap negatif tersebut semakin terasa menjangkiti anak bangsa.

Geliat pembangunan ekonomi
Beberapa tahun belakangan perlahan mulai terlihat geliat generasi baru yang sama sekali berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya. Suatu generasi yang lahir dalam alam era keterbukaan (globalisasi). Secara beriringan muncul berbagai prediksi Indonesia ke depan menjadi salah satu negara adidaya di Asia bahkan dunia. Besarnya angkatan muda di Indonesia dan potensi sumber daya manusia yang semakin mumpuni bukan tidak mungkin hal itu bisa terjadi. Fenomena ini seakan menjadi jawaban dari mimpi-mimpi besar masyarakat yang telah lama hidup dalam kondisi kekurangan.

Berdasar data yang dirilis oleh Menko Kesra, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini mencapai enam persen lebih dibandingkan dengan PDB/GDP tahun sebelumnya. Diharapkan hal itu akan terus meningkat menjadi tujuh persen pada tahun-tahun mendatang. Fakta itu mencerminkan bahwa geliat pembangunan ekonomi Indonesia sedang bergairah. Begitu pula yang terjadi di daerah-daerah, pemerintah semakin fokus dalam usaha peningkatan kerja-kerja pembangunan ekonomi.

Hal itu juga dibuktikan oleh capaian pemerintah dalam berbagai bidang terutama dalam ekonomi yang banyak mendapat sorotan dari dunia luar. Oleh sebab itu, masyarakat seharusnya juga turut ambil bagian dengan mendukung kinerja pemerintah sebagai upaya penghargaan atas prestasi pemerintah.

Kemiskinan sendiri merupakan pekerjaan rumah pemerintah yang tak pernah selesai. Jumlah penduduk miskin Indonesia tercatat 31,9 juta dari jumlah total penduduk yang mencapai 230 juta. Itu merupakan jumlah yang cukup besar. Harusnya untuk menambah kemakmuran rakyat, pemerintah dapat mengurangi pengeluaran rakyat dengan menyediakan kebutuhan rakyat lebih murah. Jika pendapatan naik, biaya tetap bisa mengurangi kemiskinan. Jika pendapatan naik, biaya juga naik maka tetap miskin. Gaji naik, harga bahan pokok naik karena inflasi maka tetap miskin. Akan lebih bahaya lagi jika pendapatan tetap akan tetapi biaya naik.

Di satu sisi adanya kesadaran objektif masyarakat juga penting. Artinya, masyarakat harus sadar bahwa berbagai masalah yang melilit bangsa ini tidak mungkin terselesaikan secara tuntas oleh siapa pun yang sedang memerintah. Siapa pun yang mendapat mandat rakyat sebagai pemimpin sejatinya hanya sebagai regulator.

Bukan seperti saat ini pemerintah atau yang mendapat mandat dari rakyat masih menjadi penguasa yang diharapkan bisa mengubah keadaan secara tiba-tiba dan sempurna. Dan jika ada sedikit celah kekurangan maka hujatan dan sumpah serapah siap menunggu dilontarkan kepada yang bersangkutan.

Oleh karena itu, dengan tetap konsentrasi pada program kerja pemerintah, hal terpenting yang harus dilakukan oleh siapa pun yang menjadi pemimpin negeri ini adalah kerja-kerja kebangsaan. Kerja-kerja yang berorientasi pada penguatan sistem kenegaraan sekaligus sistem kebangsaan.

Merekatkan ikatan anak bangsa dalam keberadaannya yang plural dan multikultur dalam proses tambal sulam dari satu pemimpin berlanjut pada pemimpin berikutnya. Proses besar itu mengandaikan adanya blue print dan kesamaan pandangan dari pemimpin sebelumnya kepada penggantinya.

(-)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar