Jumat, 04 Maret 2011

Hidup adalah Menulis

Oleh Zaim Uchrowi

Ruang kecil di dekat Pondok Indah, Jakarta. Sembilan orang itu meninggalkan kesibukan rutinnya untuk dua hari berada di sana. Dua pengusaha, dua profesional, dua pendidik, dua penulis muda, serta seorang dokter senior. Mereka dipersatukan oleh tujuan yang sama: Mengasah kemampuan menulis.

Setiap orang bisa menulis. Sejak kelas satu SD, semua telah diajari menulis. Seorang lulusan SMA sudah dilatih selama 12 tahun menulis. Buat mencatat pelajaran, juga menjawab pertanyaan 'ulangan' atau ujian. Sarjana memiliki pengalaman lebih panjang lagi menulis. Kelulusannya sangat ditentukan oleh karya tulisnya. Skripsi. Sebelumnya sudah banyak pula laporan tertulis yang dikerjakan. Lalu apa sulitnya menulis?

1.700 tahun Sebelum Masehi (SM), Raja Babilonia Hamurabi sudah membuat karya tulis. Kode Hamurabi menjadi aturan tertulis untuk mengelola masyarakat. Para filosuf Yunani sekitar abad ketiga-kelima SM juga meninggalkan pemikiran-pemikiran hebat tertulis. Sekitar tahun 610 Masehi, Malaikat Jibril pun turun dari langit menemui lelaki 40 tahun yang tengah berkontemplasi di sebuah gua batu di atas gunung. "Bacalah! Bacalah!" seru Jibril.

Apa yang harus dibaca? Tidak harus tulisan memang. Keadaan-kenyataan juga dapat dibaca. Maka, banyak orang pun menulis dengan perbuatan. Bukan dengan pena. Hasilnya adalah kenyataan yang dapat dibaca oleh semua. Itulah yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, misalnya, lewat rapat koordinasi pemerintah di Istana Bogor pekan silam.

Sebagian yang hadir dan mencermati acara itu mengaku sedih. Pengelolaan negara, seperti yang tecermin di sana, dianggap sungguh tak memadai. Jauh dari standar manajemen profesional. Jauh tertinggal dibanding negara-negara tetangga. Tapi, sebagian orang membaca kenyataan mengelola negara "oke-oke saja".

Seorang Nurdin Halid, pemimpin PSSI yang paling dihujat sepanjang sejarah, pun menuliskan hidupnya. Lewat perbuatan, ia tunjukkan pada publik betapa luar biasa dirinya. Untuk menjadi pemberani, habis-habisan mengejar kemauan, juga bertarung menyingkirkan lawan lewat berbagai cara. Hal yang semestinya dimiliki seluruh rakyat negeri, yang lebih suka ndlongop dan manut dituntun pemimpin ke manapun, ini. Pada saat yang sama, Nurdin juga menulis lewat hidupnya betapa tidak penting etika dan moralitas di zaman sekarang. Kenyataan yang membuat negeri ini remuk redam.

Menulis dengan perbuatan sungguh baik. Perbuatan itulah amal yang akan mendapat ganjaran hingga akhirat kelak. Tapi, menuliskan perbuatan dengan rangkaian kata dan kalimat akan lebih baik lagi. Tulisan itulah yang terwariskan hingga bergenerasi-generasi sesudahnya. Seperti Kode Hamurabi dari kerajaan Babilonia itu. Atau, setidaknya seperti warisan tulisan Arif Muhammad, ulama dan panglima perang Sultan Agung, di Cangkuang Garut, Jawa Barat, yang teduh dan menteramkan jiwa.

Buat kepentingan pendek, menulis dapat membantu mengangkat karier. Juga menjadi sumber penghidupan seperti Andrea Hirata, penulis buku Laskar Pelangi. Menulis membuat usia kita jauh lebih panjang dari masa hidup masing-masing. Tulisan membuat amal kita terus berlipat kali. 'Ilmu bermanfaat' yang terwariskan dalam tulisan akan menjadi seperti pohon yang tak henti memberi buah bagi penanamnya. Menulis juga sarana membebaskan diri dari stres, beraktualisasi, berkontemplasi mempertautkan hati dan pikiran melukiskan nikmat tanpa batas dari Sang Khalik.

Maka, serendah atau setinggi apa pun kapasitas kita, penting untuk terus mengasah kemampuan menulis. Penting buat menjadikan menulis sebagai hal mengasyikkan dalam hidup. Jalan yang kini ditempuh kesembilan orang di forum menulis BP School of Writing itu. Mereka kian percaya hidup adalah menulis. Mereka yakin masing-masing dapat melahirkan sebuah buku dalam enam bulan. Maka, mengapa kita tak ikut jalan mereka: Terus mengasah kemampuan menulis yang akan menajamkan nurani dan melembutkan jiwa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar